RUU PKS Diharapkan Jadi Solusi Permasalahan Kekerasan Seksual

29-01-2018 / KOMISI VIII
Ketua Komisi VIII DPR RI Ali Taher Parason, foto : arief/hr

 

 

Ketua Komisi VIII DPR RI Ali Taher Parasong menegaskan, kehadiran Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) diharapkan menjadi solusi atas berbagai permasalahan kekerasan seksual serta tidak bertentangan dengan nilai budaya agama yang dianut bangsa Indonesia.

 

Saat memimpin Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan sejumlah pakar dalam rangka meyerap masukan bagi pembahasan RUU PKS, Senin (29/1/2018) di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Ali mengharapkan, RUU yang dilahirkan harus dibingkai dan tidak bertentangan dengan dasar negara Pancasila.

 

“RUU PKS diharapkan menjadi payung hukum yang akan memberikan kejelasan serta kepastian hukum dalam pencegahan, penanganan serta perlindungan kasus kekerasan seksual dan pemulihan korban,” harap Ali.

 

Ditambahkan politisi F-PAN itu, pengaturan mengenai penghapusan kekerasan seksual dalam suatu RUU diharapkan akan menjadi motivasi berbagai pihak agar berperan aktif dalam penghapusan kekerasan seksual.

 

Hadir para nara sumber yaitu, Dekan FH UI Topo Santoso, Guru Besar Bidang Ketahanan dan Pemberdayaan Keluarga Departemen IKK-FEMA IPB Euis Sunarti dan Chairul Huda.

 

Dalam paparannya, Euis Sunarti antara lain mengatakan, berbagai lapaoran kekerasan menunjukkan meningkatnya intensitas kekerasan seksual. Selain itu kurang lengkapnya pengaturan hukum yang ada seperti UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dipandang sebagai alasan pentingnya menerbitkan UU PKS.

 

Namun dalam naskah RUU PKS, Euis menilai terkesan diskriminatif karena lebih dominan melindungi perempuan dari kekerasan seksual, padahal salah satu pengaturannya adalah non diskriminatif. Hasil kajian yang dilakukan menunjukkan bahwa banyak kekerasan kepada laki-laki yang tidak muncul ke permukaan.

 

RUU ini lanjut Euis, bertujuan untuk perlindungan dari kekerasan seksual. Inti dari perlindungan adalah pencegahan sehingga pengaturan dalam UU hendaknya memberik perhatian yang sepadan terhadap aspek pencegahan. “Sayangnya, pengaturan RUU PKS lebih banyak mengatur aspek penanganan dan kuratif,” jelas Euis menambahkan.

 

Sedangkan Chairul Huda mengatakan, dilihat dari perumusan khususnya terkait dengan norma hokum pidana dalam RUU PKS sangat jauh dari standar perumusan ketentuan pidana. Misalnya perumusan adanya jenis pidana yang sudah ada dalam KUHP seperti pidana penjara dan pencabutan hak, menimbulkan konsekuensi Panjang ketika norma pelaksanaannya masih mengacu pada ketentuan lama (KUHP dan UU Pemasyarakatan). (mp/sf)

BERITA TERKAIT
Revisi UU Haji Diharapkan Tingkatkan Kualitas Pelayanan Jemaah
20-08-2025 / KOMISI VIII
PARLEMENTARIA, Jakarta — Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Abidin Fikri, menegaskan bahwa revisi Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah...
Maman Imanulhaq Dorong Kemenag Perkuat PAUD Qu’ran
14-08-2025 / KOMISI VIII
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Komisi VIII DPR RI Maman Imanulhaq mendorong Kementerian Agama (Kemenag) untuk memperkuat posisi Pendidikan Anak Usia...
Legislator Komisi VIII Dorong Peningkatan Profesionalisme Penyelenggaraan Haji
30-07-2025 / KOMISI VIII
PARLEMENTARIA, Surabaya - Anggota Komisi VIII DPR RI Inna Amania menekankan pentingnya efektivitas dan profesionalisme dalam penyelenggaraan ibadah haji. Hal...
Selly Andriany Ingatkan Pentingnya Harmoni Sosial Pasca Perusakan Rumah Doa di Sumbar
30-07-2025 / KOMISI VIII
PARLEMENTARIA, Jakarta — Menanggapi insiden perusakan rumah doa umat Kristiani di Sumatera Barat, Anggota Komisi VIII DPR RI, Selly Andriany...